Menurut Anda, Siapa Presiden 2009-2014

Politik Petani

Pemberontakan Petani Ciomas 20 Mei 1886

Masuknya kekuasaan kolonial barat membawa dampak perubahan dalam sistem kehidupan, ekonomi dan politik di Indonesia. Munculnya tanah-tanah partikulir sebagai akibat dari penjualan tanah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sampai dengan tahun 1915 sekitar 1,2 juta hektar tanah perkebunan/persawahan telah dijual oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada pihak swasta. Tanah-tanah itu berstatus Tanah Partikulir yang pemiliknya bangsa Belanda, Eropa dan Cina.

Sedangkan para petani adalah buruh tani, mereka mendapatkan upah 12,5 cent per-hari kerja di sawah atau di kebun. Setiap 5 pikul produksi yang dihasilkan oleh seorang petani, petani tersebut memperoleh 1 pikul, bagi hasil ini dinamakan cuke, darimana berasal kata cukai. Penghasilan per-tahun petani ini masih lagi dikenakan pajeg, darimana berasal kata pajak. Disamping itu para petani setiap bulannya selama 5 hari dinyatakan bekerja kompenian, artinya bekerja tanpa upah.

Untuk pengaturan cuke, kompenian dan pemungutan pajeg, Tuan Tanah mempekerjakan Demang dan Pencalang yang dipersenjatai tombak. Demang dan para Pencalang sebagai pembantunya bertingkah laku kejam terhadap para petani. Ini derita para petani yang bekerja di Tanah Partikulir, termasuk petani Ciomas di kaki Gunung Salak, Bogor, di tanah partikulir milik Tuan de Sturler. Kekejaman kakitangan Tuan Tanah seringkali dilindungi oleh birokrasi Pemerintah Hindia Belanda, terutama Camat. Camat berkolaborasi dengan Demang dan Pencalang, memeras para petani dan menyiksa mereka bilamana perlu.

Menjelang pecahnya pemberontakan petani Ciomas pada tahun 1866, banyak orang yang meninggalkan Ciomas untuk menghindari beban pemungutan pajeg yang berat, dan menghindari kerja kompenian di perkebunan. Ketidakpuasan dan kebencian mereka terhadap Tuan Tanah dan kakitangannya yang menjadi pemicu pemberontakan tersebut. Daerah Ciomas yang dingin itu tiba-tiba pada bulan Februari 1886 situasinya memanas. Camat Ciomas Haji Abdurrahim terbunuh. Apan, tersangka pembunuh dan juga sejumlah petani lainnya yang terlibat, melarikan diri ke Pasir Paok. Mereka menolak menyerahkan diri.

Sebulan sebelum terbunuhnya Camat Haji Abdurrahim, Idris, seorang tokoh petani kelahiran Ciomas dikabarkan menghilang. Ia bergerak di sekitar Gunung Salak dan berpindah-pindah tempat. Bahkan diketahui Idris pernah berada di Sukabumi dan Ciampea. Tidak ada catatan yang cukup tentang bagaimana cara Idris mengorganisir perlawanan petani Ciomas terhadap Tuan Tanah. Juga tidak terdapat laporan bahwa Idris berguru pada ahli spiritual atau menjalankan tarekat. Gerakan Idris tersebut sangat rahasia sehingga tidak tercium oleh mata-mata Belanda.

Pemberontakan petani Ciomas 1886 hampir berdekatan waktunya dengan pemberontakan petani di Cilegon pada tahun 1888. Secara teori sangat mungkin pemberontakan petani Ciomas 1886 dan pemberontakan petani Cilegon 1888 didalangi oleh otak yang sama. Seperti halnya pemberontakan Condet 1916 dan pemberontakan Tangerang 1924, walaupun terpaut 8 tahun, akan tetapi aktor intelektualnya sama yaitu seorang yang bernama Sairin, yang berasal dari Cawang, Jakarta Timur. Sairin, dikenal menguasai sejarah Jakarta, sebagaimana Rama Ratu Jaya, tokoh pemberontakan Tambun 1869.

Pemberontakan-pemberontakan petani, termasuk di Ciomas pada tahun 1886, ternyata bukan hanya disulut oleh penderitaan akibat penindasan oleh kakitangan Tuan Tanah dan Pemerintah Hindia Belanda belaka, akan tetapi terdapat idealisme dibalik pemberontakan-pemberontakan tersebut. Idris mencari peluang yang bagus untuk menyerang kakitangan Tuan Tanah. Peluang tersebut diperolehnya. Idris mendapat informasi bahwa pada malam Jumat tanggal 20 Mei 1886, pegawai dan kakitangan Tuan Tanah Partikulir Ciomas akan melakukan upacara sedekah bumi bertempat di rumah peristirahatan Tuan Tanah di Gadog.

Upacara ini untuk berterima kasih kepada Yang Kuasa karena panenan yang berhasil bagus. Biasanya dalam upacara sedekah bumi, dilakukan makan besar. Seluruh pengunjung dijamu dengan makanan yang enak-enak, dan tidak ketinggalan hiburan. Biasanya dalam acara tersebut, tuan rumah menyediakan minuman keras. Pada malam Kamis 19 Mei 19886, Idris dan pengikutnya merebut dan menduduki kawasan selatan Ciomas. Idris tidak melebarkan kawasan yang didudukinya, tempat tersebut sekedar dipakai sebagai batu loncatan untuk meyerbu rumah peristirahatan Tuan Tanah di Gadog.

Benarlah, pada malam Jumat 20 Mei 1886, Idris dan para pengikutnya menyerbu pesta pora yang sedang berlangsung di rumah peristirahatan Tuan Tanah di Gadog. Tidak kurang dari 41 orang kakitangan Tuan Tanah terbunuh dan 70 orang lagi mengalami luka-luka. Arena pesta dibanjiri darah dan diliputi oleh kepanikan, semuanya bubar dan lari menyelamatkan diri masing-masing. Para pengikut Idris berteriak-teriak sambil memburu sasarannya, akan tetapi sasaran utama yang dicari tidak ketemu, Tuan Tanah De Sturler dan keluarganya berhasil meloloskan diri.

Seperti halnya Apan, Idris-pun menghilang dari Ciomas. Sangat mungkin Idris dan Apan bergabung dengan Haji Wasit di Cilegon yang tengah mempersiapkan pemberontakan petani Cilegon pada tahun 1888.

Sumber:
- Majalah Tani Merdeka, September-Oktober 2008.
- Sartono Kartodirjo, Protest Movement In Rural Java, 1973.

0 komentar:

 
Cebong`s Notez
---- Bincang-bincang Politik Indonesia. Green World Blogger Template---- © Template Design by Syam