Menurut Anda, Siapa Presiden 2009-2014

Peluang JK-Wiranto Kecil, Lebih Baik Ikut PDIP-Gerindra Saja

Partai Golkar diisukan akan mengusung Jusuf Kalla-Wiranto sebagai capres dan cawapres. Peluang keduanya untuk menang diprediksi sangat kecil. "Berat, kalau mereka tetap ingin ngotot maju," kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli. Jika tetap dipaksakan, Lili yakin akan terjadi 2 putaran dalam pemilihan presiden. Namun peluang JK-Wiranto untuk lolos di putaran pertama pun sangat berat.

"Posisi tawar mereka juga harus berbeda dengan incumbent," imbuhnya.

Lili menyarankan, sebaiknya Golkar ikut dengan koalisi besar saja yang terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura. Hal ini bertujuan untuk membangun agenda perbaikan bangsa ke depan secara bersama-sama. Pimpinan PDIP, Golkar, Hanura dan Gerindra harus duduk satu meja dan memikirkan solusi yang baik. Setelah itu, baru disepakati siapa saja yang akan menjalankannya nanti.

"Tapi pertanyaannya, apakah partai-partai tersebut mau melepas egonya masing-masing," pungkasnya.

Di samping itu, Partai incumbent juga memprediksikan bahwa koalisi besar itu tidak akan mungkin terealisasi. Obsesi menjadi presiden, menurut PD, yang menjadi alasannya. "Saya yakin koalisi 6 partai yaitu Golkar, PDIP, Hanura, Gerindra, PPP, dan PAN tidak mungkin terjadi," tutur Ketua Fraksi PD DPR Syarif Hasan.

Hal ini disampaikan Syarif seusai rapat paripurna DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (29/4/2009).

Menurut Syarif, enam partai itu, terlebih PDIP, Golkar, Gerindra, dan Hanura, tidak bisa dipersatukan karena memiliki perbedaan kepentingan. Partai-partai ini, menurut Syarif, tidak memiliki kepentingan membangun koalisi bersama untuk bangsa, tapi sama-sama mengincar posisi presiden.

"Tidak mungkin sama-sama, karena beda kepentingan, bingung siapa capres, siapa cawapres. Jadi tidak mungkin terjadi," kata Syarif. Syarif kemudian menawarkan diri agar Golkar mau kembali ke pangkuan PD. Syarif mengaku PD masih membuka pintu koalisi dengan Golkar. "Tidak benar kita menzalimi Golkar, kita berkomunikasi terus," pungkasnya.

Jika memang PD masih menawarkan kepada Golkar, kenapa Golkar kok tidak secepatnya merespon? Kalau merasa Ego dari Ketum yang mengakibatkan koalisi itu tidak terealisasi, lebih baik MUNASLUB karena ketum sudah tidak lagi memikirkan kepentingan bersama, namun lebih pada kepentingan pribadi....

Selengkapnya......

Golkar Talak 1 Demokrat, Tapi ada Indikasi Rujuk

Belakangan ini suhu politik Indonesia sedang memanas atau boleh saya katakan sedang mengalami proses menuju global warming politic yang suhunya hampir mencapai 70* Celcius. Tapi bukan Politikus kita kalau belum bisa membuat masyarakat or rakyat banyak bingung tujuh keliling, karena memang seperti itulah prilaku para politikus kita...
Partai Demokrat menyatakan tak menduga bahwa hari ini telah terjadi kebuntuan pembicaraan koalisi dengan Partai Golkar. "Kami tidak menduga, penghentian pembicaraan itu dilakukan secara sepihak," ungkap Anas Urbaningrum usai pertemuan antara Tim 9 dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pendopo Kediaman di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Rabu 22/4/2009 yang lalu.

"Bagaimanapun pernyataaan yang dikeluarkan oleh Partai Golkar, Partai Demokrat menghormati sepenuhnya itu hak politik Golkar," ungkap Anas waktu itu. Sebelumnya Anas menceritakan, pada Selasa malam lalu, Partai Demokrat telah melaporkan hasil pertemuan antara tim 9 dan tim 3 Partai Golkar, kepada Dewan Pembina Demokrat.

Dalam hal ini SBY meminta untuk mengendepankan terlebih dahulu masalah yang belum disepakati, yakni mengenai ditetapkannya capres/cawapres yang akan diajukan oleh Golkar, apakah satu nama atau beberapa nama.

"SBY berpesan, hal ini untuk dibicarakan kembali pada pertemuan selanjutnya," ujarnya.
Partai Demokrat tetap menunggu komunikasi lanjutan dengan Partai Golkar. Meskipun telah ada pernyataan sepihak bahwa Partai Golkar memutuskan untuk bercerai dari koalisi dengan Demokrat. Hal itu dipertegas oleh Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Syarif Hasan usai pertemuan Tim 9 dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.

Syarif mengatakan, Demokrat sudah membuka diri untuk tetap memberikan kesempatan berkoalisi bersama partai yang telah bermitra selama 4,5 tahun ini. "tergantung Golkarnya lah. Kita kan sudah terbuka. Ya, kita tunggu dari sana," ujarnya.

Mengenai sikap SBY mendengar keputusan sepihak dari Golkar, kata Syarif, Ketua Dewan Pembina Demokrat itu tampak biasa. "Sikap SBY? SBY biasa saja," pungkas Syarif.
Namun belakangan ini, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono mengungkapkan kecenderungan DPP partainya untuk kembali menggalang koalisi dengan Partai Demokrat dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009 mendatang.

"Kecenderungannya Dewan PImpinan Pusat (DPP) adalah (berkoalisi) dengan Partai Demokrat, karena suara-suara publik seperti itu," ujarnya di Jakarta, Senin, di sela-sela rapat paripurna pembukaan masa sidang DPR RI di Jakarta, Senin.

Namun Agung menambahkan, kecenderungan itu untuk sementara ini menginginkan dan merekomendasikan hasil rapat pimpinan nasional (rapimnas) khusus Partai Golkar yang diselenggarakan beberapa waktu lalu justru menginginkan JK untuk masju sebagai Capres.

Lebih lanjut, ia mengatakan, kecenderungan DPP bersikap demikian, demi kepentingan menjaga stabilitas politik dan mewujudkan kinerja pemerintahan yang lebih baik. Agung juga mengatakan, kembali terbangunnya koalisi Partai Golkar dan Partai Demokrat itu semuanya bergantung pula pada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) i dan Partai Golkar tidak bisa memutuskan sendiri.

Ketika ditanya tentang komunikasi politik yang telah terjalin dengan partai-partai lainnya, Agung mengatakan, partainya harus berkomunikasi dengan siapa saja dan komunikasi politik yang sudah terbangun juga tidak akan dinafikan begitu saja.

Namun demikian, ia menambahkan, komunikasi politik sekarang ini yang utama adalah dengan kubu SBY dan pada Minggu ini pertemuan itu akan digelar tetapi kedua pihak memutuskan untuk menundanya.

Selengkapnya......

Boikot Pemilu PILPRES 2009

Merasa sejumlah tuntutannya tidak direspon, Megawati Soekarnoputri, Wiranto dan Prabowo, mewakili apa yang mereka namakan kelompok "Teuku Umar" berencana mengajukan tuntutan resmi kepada pemerintah dan KPU, atas segala kekisruhan yang terjadi selama pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Mereka bahkan mengancam akan memboikot pemilihan presiden Juli mendatang jika pemerintah lepas tangan.

Selama sekitar 1,5 jam Wiranto, Senin (20/04/09) kemarin, bertemu dengan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Menurut Ketua Umum Partai Hanura ini, mereka secara intens membahas kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pemilu legislatif lalu. Dalam dua hari kedepan mereka akan mengajukan tuntutan secara legal kepada pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk bertanggungjawab. Jika tidak ada tanggapan dari instansi pemerintah tersebut, kemungkinan mereka akan memboikot pemilu pilpres mendatang.

Wiranto merupakan satu dari sejumlah tokoh yang merapat ke Megawati Soekarnoputri, selain Prabowo Subianto dan sejumlah pemimpin parpol yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu. Mereka membentuk kubu yang saat ini dikenal publik sebagai kelompok Teuku Umar. Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) mewarnai pemilu legislatif. Protes pun mengalir. Salah satunya para mantan aktivis '98. Mereka pun menyerukan penolakan pemilu dan pemboikotan pilpres.

"Pemilu harus diulang karena adanya cacat DPT atau boikot pilpres 2009. Kini kita berada di tengah krisis konstitusi ketatanegaraan," kata Mantan Ketua Senat Universitas Mercubuana A Rohman, dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jl Lapangan Banteng, Jakpus, pada Senin (20/4/2009).

Para mantan aktivis '98 itu yang dahulu tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) antara lain Ubaidillah (mantan Ketua Senat UNJ), Panca Nainggolan, dan lainnya, menandatangani petisi. "Hentikan penghitungan, presiden mengatakan bahwa itu kesalahan KPU, tetapi data kependudukan disediakan oleh pemerintah, jadi pemerintah yang harus bertanggung jawab," jelas A Rohhman.

Menurut dia, ketua dan anggota KPU juga harus mengundurkan diri karena telah gagal dalam menyelenggarakan pemilu. "Mundur disini bukan untuk melanggar hukum formal, tetapi lebih sebagai suatu sikap moral sebagai orang yang dipercaya tapi melakukan kesalahan dan kegagalan dalam mengemban tugas rakyat, jadi butuh etika politik," ujarnya.

Selain itu, presiden dan wapres segera non-aktif dari jabatannya agar pemilu berlangsung jurdil dan pemerintahan dijalankan oleh Triumvirat. "Maka Mendagri, Menlu, dan Menhan akan bekerja secara eksekutif dalam menjalankan pemerintahan," tambahnya.

Selengkapnya......

Ancaman PKS; Mandul di Tengah Jalan

Capres Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai ancaman Partai Keadilan Sejahtera (PKS) keluar dari koalisi parpol yang mengusungnya bila ia berduet lagi dengan Jusuf Kalla (JK) merupakan hak partai politik.

"Saya mendengar pandangan seperti itu. Itu hak teman-teman parpol menyatakan pendangannya," kata SBY dalam jumpa pers dengan wartawan di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (19/4/2009).

SBY berjanji akan menetapkan pasangan cawapresnya dengan pertimbangan yang tepat. Presiden SBY juga mengaku tidak takut dengan kemungkinan muncul istilah matahari kembar dalam pemerintahan yang akan datang, bila kembali berhasil memenangkan Pilpres.

"Mengenai istilah jangan sampai ada dua matahari, itu tidak mungkin terjadi manakala masing-masing paham tentang tugas dan kewajibanya, memahami otoritas yang diatur dalan konstitusi, dll. Saya tak takut atau khawatir dengan kemungkinan matahari kembar atau dua matahari," kata SBY.

Namun tentu saja keputusan tetap di tangan SBY dan Demokrat untuk menentukan dengan siapa mereka berniat, kalau dihitung secara rasional, maka Golkar dengan 14% suara akan lebih realistis akan tetapi kalo pilihan ini diambil maka akan kemanakah PKS?

Seandainya PKS ada bersama dengan PDIP, HANURA, GERINDRA, PAN dan partai lain yang mendukung PDIP, maka Demokrat harus sungguh sangat serius berhitung dan mengkalkulasi dengan seksama, karena masih lebih mungkin PKS ke PDIP daripada Golkar yang ke PDIP. Walaupun sebenarnya PKS menolak mentah-mentah Presiden Perempuan karena idiologi kerasnya, tapi kalau untuk tujuan politik, apa sih yang nggak...!? Semua cara harus dilakukan.

Jadi, siapakah pemenang antara PKS vs Golkar? Kita tunggu jawabannya dari Demokra
t aja deh... iya kan!? Masa mau nunggu jawaban dari PKS, PDIP, PAN or PMB hahaha...

Sampai berita ini diturunkan, pihak PKS masih bungkam atas pernyataan SBY... Tuh kan, masih kecil kok belagu sih PKS...!? Introspeksi diri dulu lah... Akhirnya terkabul juga permintaan PKS untuk keluar dari koalisi... Amin :-)

Selengkapnya......

PKS; Partai Pragmatis

Mau ke mana Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Pertanyaan ini muncul di benak banyak orang, akhir-akhir ini. Menjelang Pemilu 2009, partai dakwah yang satu ini banyak memancing perhatian khalayak dengan manuver-manuver politik tak terduga. Serial iklannya yang mengangkat sejumlah tokoh sejarah menuai kritik.

Iklan PKS yang menampilkan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari mendapat tanggapan dari kalangan di Muhammadiyah dan NU. Pendukung dua ormas besar itu menuding PKS mengincar warga mereka. Padahal, pandangan keagamaan PKS tidak sejalan dengan ajaran dua tokoh tersebut.

Terlebih lagi ketika sebuah sekuel iklan PKS menampilkan mantan Presiden Soeharto. Kritik pedas berdatangan silih berganti. PKS dituding berbalik langkah, dari partai yang reformis menjadi parpol yang pragmatis. Menghalalkan segala cara untuk menarik massa.

Reaksi keras itu tidak sulit dipahami. Ingatan orang belum kering, bagaimana reformasi merupakan gerakan bersama untuk menolak politik otoritarian Orde Baru. Ketika itu, PKS termasuk yang paling lantang berteriak reformasi. Tapi kini, baru 10 tahun berlalu, PKS seolah melupakan semangat itu demi meraup kekuasaan.

Sebenarnya pragmatisme PKS bukan fenomena baru. Kemauan dan kemampuan mengambil langkah politik taktis terlihat sejak Pemilu 2004. Ilmuwan politik membagi perilaku partai politik ke dalam tiga kategori: perilaku dalam organisasi, perilaku dalam pemilu, dan perilaku dalam pemerintahan. Dalam ketiga ranah ini, perlahan tapi pasti PKS makin taktis, rasional, pragmatis.

Dalam organisasi, contohnya, parpol yang banyak diawaki mantan aktivis masjid kampus ini terkena apa yang oleh Robert Michels --murid Max Weber yang kemudian menjadi penasihat politik Benitto Mussolini-- disebut sebagai "hukum besi oligarki". Menurut Michels, pada masa-masa awal kelahirannya, kendali partai politik berada di tangan anggotanya
(demokratis) . Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kepemimpinan akan beralih ke tangan segelintir pimpinan (oligarki) karena tuntutan efektivitas organisasi.

Ini dialami PKS. Pada awal sejarah partai ini --ketika itu bernama Partai Keadilan (PK)-- anggaran dasar partai menyebutkan, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah musyawarah nasional. Artinya, setiap keputusan penting selalu dirembuk dan dibicarakan bersama oleh anggota partai.

Perkembangan berikutnya, setelah berubah menjadi PKS, anggaran dasar partai menyatakan, lembaga pengambil keputusan tertinggi adalah Majelis Syuro. Keputusan tertinggi cukup di tangan sekelompok pimpinan.

Demikian pula dalam perilaku pemilu, PKS mengalami perubahan drastis dari idealis menjadi taktis dan pragmatis. Menjelang Pemilu 1999, misalnya, Dewan Syariah PK --lembaga yang bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan partai-- mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukung PK untuk tidak terjebak dalam kesibukan mencari pemilih.

Sebab, menurut Dewan Syariah, partai ini didirikan bukan untuk mengejar kekuasaan, melainkan untuk menebar dakwah. Alhasil, Dewan Syariah menyerukan kepada segenap kader dan pendukung untuk lebih banyak meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab Tuhan Mahakuasa dan bisa membuat sebuah partai menang atau kalah. Dan
terbukti, PK gagal!

Menjelang Pemilu 2004, sikap dan perilaku PKS berbalik nyaris 180 derajat. Pada periode ini, PKS meyakini, keberhasilan partai dalam pemilu adalah kecerdasan menyusun strategi dan kegigihan menjalankan kampanye. PKS pun melatih kader-kadernya dengan berbagai keterampilan profesional dalam persuasi dan propaganda politik.

Mereka menyewa konsultan profesional untuk melatih kader partai berhubungan dengan media dan membuat berita. Yang lebih menarik, Dewan Syariah PKS kemudian mengeluarkan seruan bahwa yang terpenting dilakukan para kader adalah mengajak orang mencoblos PKS. Soal dakwah bisa dilakukan setelah itu.

Perkembangan yang makin pragmatis juga terjadi dalam perilaku PKS di pemerintahan (legislatif dan eksekutif). Pada zaman PK, meski gagal melampaui electoral treshold 2% dan tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya, PK berhasil mengirim tujuh wakilnya di DPR. PK juga sempat mendapat jatah satu kursi di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada periode ini, perilaku kader-kader partai di pemerintahan lebih mencerminkan gagasan ideal sebuah partai politik yang ingin melakukan perubahan besar. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail begitu gencar memburu koruptor kakap, yang membuatnya harus berbenturan dengan presiden dan terdepak dari kabinet. Ketika itu, PK juga hanya bersedia
berkoalisi dengan partai Islam. Terbukti, partai ini menolak tawaran posisi menteri dalam kabinet Megawati, setelah Gus Dur dimakzulkan MPR.

Namun kiprah kader partai dakwah berubah banyak ketika berganti menjadi PKS. Menjelang pemilihan presiden 2004, PKS tidak bulat mendukung Amien Rais yang notabene representasi politisi muslim yang sejalan dengan identitas politik PKS. Sebagian pimpinan PKS lebih memilih Wiranto karena alasan pragmatis politik bahwa yang terakhir ini lebih punya kans memenangkan kompetisi. Di arena pemilihan kepala daerah, PKS tidak canggung lagi berkoalisi dengan parpol yang tidak berbanderol Islam. Bahkan ia menjalin koalisi dengan partai Kristen, PDS.

Mau ke mana sebenarnya PKS? Kalau melihat perubahan dari idealis menjadi pragmatis tadi, apakah PKS akan berubah menjadi seperti partai politik yang lain? Bukan lagi partai dakwah yang bercita-cita membangun masyarakat Islam dan memperjuangkan Islam dalam ranah politik?

Sebenarnya tidak juga. Kalau kita cermati lebih dekat, akan terlihat bahwa meskipun partai ini berubah cukup drastis --dari idealis di zaman PK menjadi pragmatis di zaman PKS-- ia tidak pernah mengubah rumusan ideologinya. Ia tetap partai Islamis yang evolutif ala Ikhwanul Muslimin, yang bercita-cita memperjuangkan terbentuknya masyarakat Islami melalui pembentukan jaringan kader untuk menumbuhkan individu-individu Islami.

Individu-individu ini nantinya membangun unit-unit keluarga Islami, yang akan melahirkan dan mendidik generasi Islami. Ketika sudah terbentuk generasi Islami, akan terbentuk masyarakat Islami. Jika sampai di sini, tuntutan akan sistem politik dan kebijakan yang Islami hanya menunggu waktu.

Lalu, apa yang membuat partai yang memiliki reputasi bersih ini seolah berubah pikiran menjadi pragmatis? Di satu sisi, ada sebagian komentator mengungkapkan bahwa pragmatisme PKS tidak lebih dari sekadar kamuflase untuk menutupi agenda mereka yang sebenarnya. Mereka ingin terlihat moderat untuk mendapatkan dukungan massa sebanyak-banyaknya.

Setelah mereka memenangkan kekuasaan, menurut pendapat ini, PKS baru akan menunjukkan wajah aslinya yang Islamis. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa politisi PKS sebenarnya tidak beda dari politisi pada umumnya, yang berorientasi kekuasaan. Menurut pandangan ini, pimpinan PKS baru menyadari bahwa politik memang harus pragmatis.

Tapi, dalam tilikan yang lebih teoritis, kedua pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Pragmatisme PKS bukanlah karena ingin menutupi hidden agenda politik Islamis dan bukan semata pragmatisme yang banar. Melainkan lebih karena produk aturan main politik demokrasi yang dibangun dan diinstitusionalisasikan di negeri ini selama 10 tahun terakhir.

Harus diingat bahwa partai-partai politik tidak bermain di ruang kosong, melainkan dalam sebuah bingkai bernama institusi demokrasi. Menurut sejarawan ekonomi Amerika dan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 1990, Douglas C. North, institusi adalah tatanan untuk mengatur perilaku manusia. Institusi memiliki dua fungsi pokok.

Pertama, institusi menyediakan aturan berperilaku. Dalam bingkai institusi (dalam hal ini demokrasi), perilaku partai politik menjadi teratur dan mudah diprediksi. Institusi yang stabil, dengan demikian, memotivasi aktor politik untuk berperilaku rasional dan terprogram. Kedua, institusi berfungsi menfasilitasi distribusi kepentingan secara lebih adil. Artinya, dalam institusi yang stabil, aktor politik akan terdorong untuk saling bekerja sama.

Lebih lanjut, North membagi institusi ke dalam dua jenis, yaitu institusi formal dan informal. Yang pertama merujuk pada aturan main yang terkodifikasi, misalnya konstitusi, hukum, hingga kontrak. Sedangkan yang kedua merujuk pada sistem yang mengatur perilaku tapi tidak terkodofikasi. Contohnya budaya, agama, dan ideologi.

Dalam analisis North, baik yang formal maupun informal, institusi memiliki fungsi sama. Keduanya memiliki hubungan saling melengkapi. Institusi formal membantu institusi informal supaya lebih efektif. Misalnya, undang-undang biasanya merupakan formalisasi nilai budaya dan agama di masyarakat. Sebaliknya, institusi informal membantu mencari jalan bila institusi formal tidak berfungsi dengan baik.

Teori North ini cukup akurat untuk menjelaskan pragmatisme PKS. Pragmatisme itu bukan upaya menutupi agenda tersembunyi dan bukan pula karena PKS tidak lagi peduli pada ideologi partai dakwah. Pragmatisme lebih merupakan buah institusionalisasi sistem demokrasi. Sebab sebenarnya perilaku partai politik tidaklah hanya didorong oleh ideologi, melainkan juga dipengaruhi aturan main, yaitu sistem demokrasi.

Seperti kata North, ideologi sebagai institusi informal dan demokrasi sebagai institusi formal selalu berbanding terbalik. Ketika masih bernama PK, institusi formal (sistem demokrasi) yang ada pada waktu itu belum stabil. Karena itu, PK cenderung berperilaku ideologis. Namun, ketika sistem demokrasi makin berjalan baik dan aturan main politik makin stabil --dengan berbagai amandemen UUD serta penyempurnaan UU Pemilu dan Pemilihan Presiden, UU tentang Fungsi dan
Kedudukan DPR, UU Partai Politik, dan lain-lain-- partai dakwah yang kemudian bernama PKS pun cenderung berperilaku mengikuti institusi formal: rasional, taktis, pragmatis.

Jadi, mau ke mana PKS? Kalau pertanyaan ini masih juga muncul, jawabannya ada pada sejauh mana stabilitas sistem demokrasi kita. Jika demokrasi dan demokratisasi tetap stabil sebagai aturan main politik, bisa dipastikan, PKS akan tetap pragmatis. Namun, sebaliknya, jika demokrasi mulai goyah dan tidak lagi menjadi aturan main utama, maka mudah diramalkan bahwa perilaku politik ideologis akan kembali bermunculan. Mungkin bukan hanya dari PKS.

Namun, jika melihat manuver PKS akhir-akhir sepertinya mengindikasikan bahwa partai ini telah berubah haluan dari partai yang beridiologi wahabi alias eksklusif (Islam garis keras; baca buku M. Rachmat yang berjudul "Islam Garis Keras; Dari Timur Tengah-India-Asia") menuju partai yang inklusif. Itu bisa dilihat dari berbagai gerak langkah politik PKS 2 tahun belakangan ini.

Ini semua butuh waktu karena masyarakat sudah banyak yang mengetahui bahwa PKS adalah partai yang tidak mungkin mengangkat masyarakat umum menjadi Caleg kecuali dari kalangannya sendiri, kalaupun ada dari pihak masyarakat luar, itu pun hanya sebagai pelengkap saja. Terlebih di kalangan santri, PKS merupakan partai idiologis yang sangat keras. Oleh karena itu, di kota-kota santri, PKS tidak akan mungkin menggondol suara banyak.

Waallahu A'lamu bis Shawab

Bayu Saputra Dewa
Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Public Policy
di Salah Satu Universitas di Australia

Selengkapnya......

Pemilu Ulang; Pihak Mana yang diuntungkan?

Munculnya wacana pemilu ulang akibat banyak kecurangan dinilai akan menggangu stabilitas keamanan yang saat ini kondusif. Masalah DPT yang menjadi persoalan bersama harus diselesaikan secara dewasa tanpa mencari kambing hitam dan solusi pemilu ulang.

"Tidak ada alasan pemilu itu diulang. Jangan sampai karena menurut sekelompok orang, pemilu diulang. Yang penting rakyat aman. Kalau diulang, saya jamin rakyat tidak akan datang," kata Sekretaris Gerakan Indonesia Bersatu (GIB) Heru Lelono dalam jumpa pers di kantor GIB, Jl Wijaya 9 No 12, Jakarta, Senin (13/4/2009).

Terkait masalah DPT, Heru meminta semua pihak memperbaiki dengan mendata setiap penduduk yang memiliki hak pilih. Hal ini untuk menghindari adanya warga negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak dapat menggunakannya karena tidak tercatat dalam DPT pilpres mendatang.

"Saya pribadi menilai, memang pemasukan data sangat perlu dilakukan penyempurnaan. Semua pihak mulai dari KPU, kepala daerah sampai camat dan kepala desa harus bekerja keras mendata warga negara yang memiliki hak pilih," paparnya.

Heru menilai pemilu saat ini berhasil dan sudah sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. "Yang penting bagi rakyat itu kan pemilunya jurdil dan aman. Itu saja sudah cukup," pungkasnya.

Dengan adanya Pemilu ulang, Parpol manakah yang akan diuntungkan? Kita lihat hasilnya jika memang di beberapa daerah, pemilu ulang memang harus dilakukan...

Selengkapnya......

Koalisi Mega-SBY... Mungkinkah?

Partai Demokrat (PD) banyak diprediksi tidak bakalan bisa berkoalisi dengan PDIP. Namun staf ahli Presiden SBY, Heru Lelono justru berkata sebaliknya. Ia menyarankan Mega bersatu dengan SBY. 

"Mega harusnya bersama SBY. Secara politik saya tidak setuju kalau SBY berlawanan dengan Mega," kata Sekretaris Gerakan Indonesia Bersatu Heru Lelono dalam jumpa pers di Jl Wijaya, Jakarta Selatan, Senin (13/4/2009). 

Staf ahli presiden ini menilai Partai Demokrat dapat bersatu dengan PDIP. Apalagi jika ditambah dengan beberapa partai lainnya maka kekuatannya akan semakin kokoh.

"Secara chemistry politik mereka sesuai, dibandingkan PDIP dengan Golkar. Saya jamin massa PDIP akan pilih SBY, karena sejak dulu beberapa tokoh PDIP memang sering mengunggulkan SBY," kata pria yang namanya ngetop setelah kisruh blue energy itu.

Selengkapnya......

Atribut Parpol di jakarta Pusat Dibersihkan

Pagi-pagi setelah sholat subuh, saya lari-lari pagi dan melihat sudah tidak ada lagi atribut parpol, walaupun masih ada 1-2 atribut kecil... Mungkin Satpol PP sudah membersihkan sekitar ribuan atribut parpol yang berada di kawasan Jakarta sehubungan dengan masa tenang Pemilu yang dimulai hari Senin.

"Semua bendera, baliho maupun poster kecil-kecil yang ditempel di pohon dibersihkan semalam hingga jam empat pagi. Jumlahnya sekitar 10 ribu atribut," kata Ketua Satpol PP Jakarta, Idris Priyatna. Pembersihan itu antara lain dilakukan di kawasan Jalan KH. Mas Mansyur, Jalan Penjernihan, Sawah Besar, Jalan Suryo Pranoto, Jl H. Ung dan Kramat Raya. Atribut parpol itu kemudian ditampung di kecamatan masing-masing untuk dipilah-pilah. 

"Yang bagus akan digunakan lagi, yang jelek akan dibawa ke Cakung untuk dimusnahkan," ujar Idris. Pemko Jakarta Pusat menurunkan 500 anggota Satpol PP untuk melakukan pembersihan itu. Sementara itu, maraknya atribut kampanye yang masih terpasang di masa tenang setelah kampanye, membuat Panwaslu DKI menyatakan akan menggunakan pasal 269 UU No.10/2008 tentang Pemilu untuk menjatuhkan sanksi kepala pelanggar. 

"Sanksinya 3-12 bulan kurungan atau denda Rp3-12 juta," kata Anggota Panwaslu DKI, Prayogo Bekti Utomo. Selain itu, pada masa tenang ini, mobil pribadi maupun angkutan umum yang masih ditempeli atribut parpol juga akan dikategorikan sebagai pelanggaran kampanye di luar jadwal. "Yang ditempel di mobil atau bajaj juga akan dikategorikan sebagai pelanggaran, karena radius 200 meter dari TPS harus steril, maka mobil lewat dengan atribut parpol akan jadi masalah," kata Prayogo.

Selengkapnya......

KPU Perlu Sampaikan Perkembangan Setiap Hari

Direktur Eksekutif Indosolution, sebuah lembaga konsultan, Agus Muldya Natakusumah, menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan perkembangan pelaksanaan pemilu setiap hari di media massa sehingga pihak terkait selalu siaga dan siap membantu jika ada kondisi darurat.

Disamping itu juga, agar masyarakat mengetahui perkembangan terkini masalah-masalah, seperti bagaimana tindak lanjut dalam pelanggaran kampanye, banyaknya parpol yang melakukan aktivitas kampanye dalam masa tenang, dan pelanggaran kampanye lainnya... (Bukankah Gerindra yang mengumpulkan massa paling besar melebihi Demokrat dan PKS, sebagaimana diberitakan di media cetak dan elektronik. Sewaktu saya di sedang liputan, kenapa kok banyak mobil bogor yang membawa massa PKS ya...? Aneh ya... Jangan-jangan main kongkalikong antara PKS dan MURI)

Hal yang seperti itu kan mudah dibeli...

Selengkapnya......

PEMILU LEGISLATIF (PILEG) 2009 DI HARI GAWAT

Menurut perhitungan falaqiyah, pileg 9 April 2009 yang bertepatan dengan Kamis Pahing, tanggal 13 Jumadil Awal 1942 menurut kalender Jawa, atau tanggal 13 Jumadil Ula 1930 Hijriyah, jatuh di hari yang disebut sebagai “Yaumunnahsin” atau berarti hari nahas. Lantas, kegawatan apa yang akan terjadi…?

Inilah untuk kali pertama kita menyelenggaran pemilu dengan sistim distrik murni, atau dengan kata lain pemilihan para calon anggota legislatif, mulai dari tingkat DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, dan DPR-RI, ditentukan dengan suara terbanyak. Disatu sisi sistim ini menjanjikan tingkat keterwakilan murni yang sepenuhnya berdasarkan sebagai suara rakyat mayoritas, dan inilah makna demokrasi yang sebenarnya, namun di sisi yang lain sistim ini pun memunculkan berbagai kekhawatiran. Sebagai contoh, sistim distrik murni sejatinya tidak bisa diterapkan untuk pemilu yang sifatnya multi partai. Disamping kurang efektif, hal ini juga akan membingungkan konstituen dengan taraf pendidikan rendah. Ukuran surat suara yang relatif besar, dan ditaburi dengan gambar-gambar partai sekaligus nama caleg yang mencapai ribuan, kuat dugaan akan menimbulkan banyaknya surat suara tidak sah, rusak, atau malah tidak dicoblos. Hal ini setidaknya bisa dibuktikan lewat simulasi yang diselenggarakan di sejumlah daerah.Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan suara terbanyak, juga tidak lantas memberi jaminan keterpilihan wakil rakyat yang berkualitas. Kritik majalah ini, justeru sistim ini malah membuka ruang yang sangat lebar terjadinya distorsi dari demokrasi itu sendiri. Dengan suara terbanyak, obyektifitas pilihan rakyat akan semakin menonjol. Misalnya saja, rakyat memilih karena faktor kedekatan keluarga, atau karena balas jasa politik. Hal ini jelas menihilkan subyektifitas, sehingga program-program yang disodorkan parpol menjadi tidak bermakna.


Sistim suara terbanyak juga patut kita curigai justeru akan menciptakan politik dagang sapi yang lebih parah lagi. Adalah hampir mustahil seorang caleg miskin dapat terpilih, meskipun sang caleg ini memiliki visi dan misi brilian untuk memperjuangkan rakyat. Bayangkan, untuk membeli atribut-atribut kampanye saja, mulai dari bendera, baliho, banner, poster, hingga kaos dan korek api bergambar wajah sang caleg bisa menelan biaya yang sangat mahal. Belum terhitung biaya untuk bersosialisasi dari pintu ke pintu yang jumlahnya tak kalah besar. Tentu, hanya caleg dengan kekuatan finansial memadai yang dapat melakukan semua itu dengan solid.


Kendati hampir mustahil, bukan berarti tak ada peluang bagi caleg minim biaya untuk tampil sebagai pemenang. Jika percaya nasib, tentu segala sesuatu mungkin saja terjadi. Tetapi inipun rawan masalah. Bisa saja caleg minim biaya ini justeru suaranya “dirampok” oleh caleg yang kaya, karena misalnya, terjadi praktek dagang sapi yang disinggung di muka. Aduhai, bayangkan betapa kekisruhan akan terjadi. Balum lagi, masalah-masalah lainnya yang sudah pasti akan muncul. Lihat juga berbagai kesiapan pemilu yang terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Mulai dari surat suara yang rusak, hingga kotak suara yang tak layak. Belum lagi soal kesiapan panitia pelaksana di tingkat kecamatan dan tingkat desa yang di sejumlah daerah masih kisruh prihal honorarium. Ingat juga, di sejumlah daerah alam mungkin bisa tidak bisa bersahabat dengan even akrab ini.


Seperti apapun kenyataannya, sebagai warga negara yang baik, kita tentu harus mendukung pileg 9 April nanti. Walau begitu, dengan catatan tidak bermaksud mengajak Pembaca berpikir pesimis, apalagi berniat menggagalkan pileg yang berbiaya sedemikian mahal, Penulis melihat pileg digelar pada hari yang bisa dikatakan “gawat.” Kenapa bisa begitu? Alasannya, pileg yang diselenggarakan pada 9 April bertepatan dengan hari Kamis Pahing, tanggal 13 Jumadil Awal 1942 menurut kalender Jawa, atau tanggal 13 Jumadil Ula 1930 Hijriyah menurut hitungan penanggalan Islam. Untuk menghitung kegawatan ini Penulis tidak sendirian, tetapi sengaja menjaring pendapat lebih dari 21 Kyai Khosois. Hal ini sengaja Penulis lakukan untuk membuat semacam pembentukan risalah seputar apa yang bakal terjadi dan mewarnai negeri ini. Dan pemahaman ini setidaknya sebagai makna ziadah atau positif untuk dijadikan suatu sikap agar kita semua berhati hati dan lebih bermawas diri.


Menurut perhitungan penanggalan Islam dalam kitab Afdzolus Sholawat diterangkan bahwa angka 13 disebut sebagai “Yaumunnahsin” atau berarti hari nahas/ jelek. Dijelaskan secara rinci bahwa sebaiknya tanggal ini jangan digunakan untuk permulaan aktivitas maupun sebagai perombakkan sebuah kinerja dalam lingkup muamalah manusia. Disamping itu, tanggal 13 juga amat dimakruhkan oleh seluruh filosofi ahli bathin Islam untuk melakukan semua permulaan kinerja. “Man asyrokot nahsinuha fasytarokot nuksonuha.” Demikian menurut istilah para Ahli Hikmah, yang kurang lebih artinya: “Barang siapa melakukan sebuah permulaan yang diambil dari dasar yang jelek, maka perjalanan selanjutnya akan banyak diwarnai cobaan hingga berakhirnya sebuah masa yang panjang.”
Tak hanya  itu, pileg 2009 yang jatuh pada hari Kamis, yang menurut hitungan adalah hari kelima, yang demikian juga berarti angka lima, maka dalam kitab Afdzolus Sholawat juga dijelaskan sebagai hari Yaumunnahsin atau hari yang jelek.


Sementara itu, menurut hitungan neptu Jawa hari tersebut dikatakan sebagai hari yang pahit. Kendati demikian, bulan April yang bertepatan dengan Jumadil Ula,  menurut perhitungan kitab Afdzolus Sholawat dikatakan sangat baik, atau sebagai bulan penuh barokah. Penulis juga menukil  pendapat Imam Ali Al Buni, yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini semua tak lain bersumber dari kehendak Qodho Qodarnya Allah SWT. Disamping Qodho dan Qodhar ini dua jalan kebaikan dan keburukan akan sejajar dan beriringan menyertai setiap langkah manusia, hingga pada akhirnya semuanya tergantung dari segala tingkah laku kita sendiri yang menjalankannya.


Pilihan menetapkan hari pileg 2009 yang jatuh pada Kamis 9 April, yang bertepatan dengan 13 Jumadil Awal 1942 menurut kalender Jawa, atau tanggal 13 Jumadil Ula 1930 Hijriyah menurut hitungan penanggalan Islam, jelas merupakan Qodho dan QodarNya. Dengan demikian, sesuai pemahaman di muka, maka jelas akan ada kebaikan dan keburukan yang berjalan secara beriringan. Jika anak bangsa negeri ini tidak bisa menyikapinya dengan bijak, tentulah akan terjadi hal-hal yang merugikan bagi masa depan bangsa ini.  Perjalanan  negeri ini ke depan,. mulai 2009 sampai 2014, jelas akan mengikuti dua fenomena jalur yang saling bersebrangan. Kebaikan akan dikalahkan oleh keburukan. Bahkan, menurut perhitungan, kita akan kembali mengalami masa-masa yang cukup sulit dan krusial, terutama di sektor ekonomi. Baru pada awal 2012 perekonomian bangsa ini akan menapaki kesetabilan. Namun jangan lupa, di sisi lain bencana akan tetap mendera sang Ibu Pertiwi dikarenakan perbuatan yang ditimbulkan dari umat manusia itu sendiri.


Sebagai pencegahannya, siapapun pemimpin bangsa ini kelak, maka dia harus lebih dahulu mencontohkan kepada seluruh rakyatnya tentang arti ketulusan, kedermawanan, dan sikap rela berkorban tanpa pamrih. Seperti seorang hamba yang memberi sedekah. Dia tidak mengingatnya lagi, dan tak pernah berhitung akan pahala kebaikan yang diterimanya. Hanya dengan semangat tipe kepemimpinan seperti inilah kunci dari pencegahan segala musibah yang akan datang tanpa terduga. “Assodakotu ‘Anil Bala.”Aartinya: “Sodakoh bagian dari mencegah marabahaya.” Karena itulah, jadilah pemimpin yang senang mensedekahkan dirinya demi kebaikan negeri ini.


“Surya dan cahaya yang menjadi temanya bangsa malaikat. Jibril AS yang mengepalai seluruhnya. Mereka sudah berpaling dari mahkluk bumi yang dilihatnya penuh dengan wajah binatang menjijikkan, sifat kasih sayang yang seharusnya mereka berikan, kini dengan dilihatnya tanpa penghuni, menjadikan mereka perlahan meratakan isi bumi.” Demikian ucap Habib Abdur Rohman bin Ahmad Assegaf, Tebet, yang pernah Penulis kunjungi lima bulan sebelum beliau tutup usia. Kata-kata tersebut secara luas kiranya dapat ditafsirkan, bahwa: “Matahari, bulan dan bintang, bangsa malaikat dan para pemimpinya yang dikepalai oleh malaikat Jibril AS, mereka sudah tidak mengindahkan mahkluk bumi yang menurut mereka sudah tidak dihuni lagi oleh bangsa manusia, melainkan hampir semuanya dihuni oleh binatang yang menjijikkan. Sifat rohmat dan welas asih yang tertanam di hati hamba yang penuh kelembutan ini tidak lagi tertuang untuk bangsa manusia yang penuh akan kemaksiatan dan kedzoliman, sehingga hampir seluruh tubuh manusia yang ada di muka bumi ini dilihatnya penuh akan  hawa nafsu hewaniah, disinilah mereka para ahli langit melihatnya bahwa bumi hampir seluruhnya telah kosong dan penuh dengan penghuni berwajah binatang sehingga dengan gelapnya isi bumi, mereka dengan sifat koharnya berani menurunkan musibah dan kerusakan sifat alam.”


Pileg 9 April 2009 adalah salah satu bagian dari gawe manusia yang banyak menimbulkan hawa panas dari apa yang disebut sebagai nafsu hewaniah. Yang kuat memangsa yang lemah, dan yang lemah hanya bisa berpasrah diri menerima nasibnya. Simbolisasi hukum rimba ini potensial akan menjadi bagian penting pra dan pasca pemilu. “Pemimpin kehilangan wibawa, rakyat sengsara!” Demikian sasmita yang disampaikan oleh beberapa Kyai Khosois. Sasmita yang sejatinya tidak perlu diterjemahkan dengan bahasa yang panjang dan berliku, sebab sudah amat jelas maksudnya. Pileg 2009 terpantau akan melahirkan banyak sekali persoalan baru bagi bangsa ini. Tidak hanya persoalan pada tataran yang ditimbulkan oleh kekisruhan dari sebuah sistim yang rumit, namun juga dari output yang akan dilahirkan. Kelak, para anggota dewan yang terhormat yang duduk di jenjangnya masing-masing, akan menunjukkan kualitas yang sangat memprihatinkan. Agaknya, ini pula korelasi yang dimaksud oleh para Kai Khosois dengan sasmitanya tadi: “Pemimpin kehilangan wibawa, rakyat sengsara!” Ya, bisa dibayangkan apa jadinya kalau pemimpin kehilangan wibawa.


Lebih celaka lagi, bak kata pepatah: “Gajah berkelaihi, pelanduk terinjak-injak.” Para pemimpin akan asyik berdebat hal-hal prosedural semata, sedangkan rakyat dibiarkan mengurusi dirinya. Sebagai anak bangsa yang mendambakan kesentosaan negerinya, tentu saja kita berharap semua hal yang, mungkin pesimistis, ini tidak sungguh-sungguh terjadi. Dan seperti yang Penulis katakana dimuka, yang terpenting, jadikanlah analisis ini sebagai sebagai makna ziadah atau positif, yang semoga saja dapan melahirkan suatu sikap untuk kita semua agar selalu berhati hati dan lebih bermawas diri. Semoga…!

Percaya atau tidak... ya itu dikembalikan kepada pemikiran anda masing-masing bukan? Ilmu niteni biasanya ampuh and jitu lho..... Ini menurut penerawangan Ki Idris Nawawi. TJA


Selengkapnya......

BAWASLU TETAPKAN "STATUS GAWAT" PADA PEMILU 2009

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menetapkan "status gawat pemilu" karena distribusi logistik masih karut-marut. Jika keadaan ini dibiarkan, status pemilu mendekati genting. Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengatakan itu saat konferensi pers soal pengawasan distribusi logistik Pemilu 2009 di Hotel Millenium, Jln. Budi Kemulyaan, Jakarta Pusat, Jumat (27/3).

"Logistik, terutama surat suara, pada H-14 dalam keadaan gawat. Berdasarkan kondisi logistik itu, Pemilu 2009 berstatus gawat. Indikatornya distribusi logistik yang sebarannya hanya terkonsentrasi di beberapa tempat dan belum menjangkau wilayah-wilayah lain," kata Nur Hidayat.

Bawaslu juga menetapkan 46 kab./kota di delapan belas provinsi sebagai wilayah rawan logistik surat suara, yaitu Jabar, Sumut, Sumbar, Sumsel, Bengkulu, DKI Jakarta, Jateng, Jatim, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulsel, Sultra, dan Maluku.

Wilayah kab./kota yang dikategorikan rawan logistik, di antaranya Kab. Ciamis, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Barat. Di Kab. Ciamis, Bawaslu menemukan 813.089 surat suara rusak yang terdiri atas 1.185 untuk DPR RI, 1.638 surat suara DPD, 1.973 surat suara DPRD provinsi, dan 808.293 surat suara DPRD kab./kota.

Rusak

Berdasarkan investigasi Bawaslu dan laporan data dari panwaslu daerah, total jumlah surat suara rusak dan kurang sebanyak 6.331.905. Jumlah itu terdiri atas 2.683.927 surat suara rusak dan kekurangan surat suara mencapai 3.652.978.

"Hingga saat ini, distribusi logistik surat suara sama sekali belum diterima Provinsi Papua Barat. Melihat kondisi logistik seperti itu, status pemilu bisa berlanjut ke status genting dan kritis," kata Nur Hidayat.

Untuk itu, Hidayat berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak terlalu mengumbar optimisme yang tidak dilandasi data akurat. "Kami ingin KPU menepati jadwalnya. Kami mengawasi ketat," ujarnya.

KPU juga harus terbuka kepada anggota panwaslu yang mempertanyakan kesiapan logistik. "Berdasarkan laporan anggota panwaslu daerah, KPU kerap menutup-nutupi informasi seputar kesiapan logistik," kata Nur Hidayat.

Kinerja perusahaan

Selain masalah distribusi, Bawaslu juga menyoroti kinerja perusahaan percetakan yang diwarnai beberapa pelanggaran berat, di antaranya pengamanan pencetakan surat suara dan kredibilitas perusahaan percetakan.

Anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fredeilina Sitorus, mengatakan, investigasi Bawaslu menemukan banyak surat suara yang salah cetak disebar begitu saja. "Ada surat suara yang dipakai alas duduk atau menutup kaleng cat. Seharusnya dimusnahkan sehingga tidak ditemukan surat suara yang beredar bebas," ujarnya.

Bawaslu juga menemukan bukti beberapa perusahaan yang dimiliki caleg DPR RI dari salah satu partai di Jakarta. "Kami pun menemukan perusahaan yang menyubkontrakkan pencetakan surat suaral yang dilarang Keppres No. 80/2008," katanya.

Selengkapnya......

Humor Politik 2 (Permohonan Ampunan)

Ada 3 orang anggota DPR yang terkena berbagai macam kasus, sebut saja Agung, Bagio, dan Tanto. Mereka berada di tiga tempat berbeda, di malam hari mereka pun masing-masing khusyuk berdoa, demi keselamatan bangsa dan kesejahteraan SDM di jajarannya.

Agung pun berdoa, "Ya Allah mohon ampun, hambaMu sujud minta wejangan apa yang harus hamba lakukan untuk kelancaran pekerjaan kami menyerap aspirasi rakyat Indonesia?" Sejenak ruangan sunyi, namun tiba-tiba muncul senoktah cahaya yang menerobos dekat jendela.
Dan terdengarlah suara bernada datar, mengalir perlahan dengan syahdunya, "Wahai umatku yang kusayangi, Agung yang bijaksana. Sungguh mulia kalian diberi kepercayaan menjadi wakil rakyat. Namun sungguh durhaka, kepercayaan itu, kalian jadikan peluang untuk meraup untung. Agung!!...Jangan mengaku wakil rakyat, bila ruang sidang tidak bersih dari pikiran maksiat, dan ambisi material." Agung pun menangis dan sujud mohon ampun.

Sementara di tempat lain, di sebuah ruangan yang temaram, tampak sesosok umat sedang menyembah dan bersujud berharap mujikzat.
Bagio pun berserah, "Ya Allah tunjukkan jalanMu. Dan berilah hambaMu ini jalan keluar, agar jajaranku ini tidak terperosok di lembah hitam kemarukan, dan keserakahan menimbun harta dan uang..." Tiba-tiba senoktah cahaya, seperti garis putih dari langit menerobos pilar teras, sampai ke ruangan doa. Dan suara itu pun bergema, "Wahai umatku yang kukasihi, wahai Bagio...Siramlah anak buahmu dengan cahaya iman tiap hari. Mengapa tiap hari? Karena yakinlah dosa sogok di jajaran kamu, sudah mengakar seperti pohon beringin tua diseberang jalan itu." Tertegunlah Bagio. Dia loyo dan ia pun menangis tersedu-sedu memohon ampunan.

Di malam itu juga, ketika cakrawala hitam kelam. Di atas sana, cahaya rembulan menembus dingin cemara di halaman rumah itu. Tanto itu pun berserah, mengulurkan tangan memohon ridho Allah.
Tanto pun berbincang segenap hati, "Ya Allah, tolong umatMu yang berdosa ini yang sudah meraup banyak uang yang bukan dari hakku, berilah jalan terang untuk keharmonisan di jajaranku. Berikan jalan kepada hambaMu ini..."Belum selesai kata terakhir terucap, ruangan itu pun terang benderang dan menyilaukan sekali. Lalu terdengarlah suara yang keras... "TANTO MENYERAHLAH..!!!" Tantopun terperangah, dan terkejut bahwa tanpa disadarinya serombongan polisi telah mengepungnya...

Selengkapnya......

Humor Politik 1 (Contoh Pejabat Anti Korupsi)

Setelah proyek multimilyar dollar selesai, sang Dirjen kedatangan tamu bule wakil dari HQ kantor pemenang tender. Udah 7 tahun di Jakarta jadi bisa cakap Indonesia.

Bule: "Pak, ada hadiah dari kami untuk bapak. Saya parkir dibawah mercy S 320."

Dirjen : "Anda mau menyuap saya? ini apa-apaan? tender dah kelar kok. jangan gitu ya, bahaya tau haree genee ngasih-ngasih hadiah."

Bule: "Tolonglah pak diterima. kalau gak, saya dianggap gagal membina relasi oleh kantor pusat."
Rata PenuhDirjen: "Ah, jangan gitu dong. saya gak sudi!!"

Bule (mikir ): "Gini aja, pak. gimana kalau bapak beli saja mobilnya..."
Dirjen: "Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu!!"

Bule menelpon kantor pusat.

Bule: "Saya ada solusi, Pak. bapak beli mobilnya dg harga rp.10.000,- saja."
Dirjen: "Bener ya? OK, saya mau. jadi ini bukan suap. pake kwitansi ya.."
Bule: "Tentu, Pak.."
Bule menyiapkan dan menyerahkan kwitansi. dirjen membayar dengan uang 50 ribuan. mereka pun bersalaman.

Bule (sambil membuka dompet ): "Oh, maaf Pak. ini kembaliannya Rp.40.000,-."
Dirjen: "Gak usah pakai kembalian segala. tolong kirim 4 mobil lagi ke rumah saya ya..."

Bule bilang: "Mampus Guweeee......"

Selengkapnya......

PAN BERMAIN POLITIK GURITA

".....YANG PENTING BUKAN POLITIK UANG....."

Kartu politik apalagi yang dimainkan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir. Usai bertemu SBY, kini pengusaha batik itu kian hobi bertemu elit politik. Setelah Sultan Hamengku Buwono X, ia melirik untuk tatap muka dengan Megawati dan Jusuf Kalla. Pria yang akrab dipanggil SB itu mengakui langkah yang ditempuh masih dalam rangka koalisi. Pertemuan dengan pimpinan PDI Perjuangan dan Partai Golkar pun tidak luput untuk membicarakan masalah itu. "Kami akan segera bertemu dengan kedua pimpinan partai tersebut," papar SB.

Ia mengaku mematok syarat koalisi. Parpol yang ditemuinya pun yang diprediksi akan lolos aturan Parlementary Threshold (PT). Mereka antara lain Partai Demokrat, PKS, PKB dan PPP. Syarat yang diajukan SB pun tidak jauh dari isu anggaran. "Saya mengusulkan agar 10 persen dana APBN dialokasikan untuk pembangunan untuk pedesaan," tuturnya. Dirinya meyakini partai yang dinahkodai tetap akan menjadi pelopor koalisi. Tidak mungkin, bagi SB, PAN akan ketinggalan langkah dalam menentukan sikap berkoalisi dan mengajukan capres. "Sejak dulu PAN menjadi pelopor dalam reformasi, sekarangpun PAN akan tetap jadi pelopor. PAN tidak akan mengekor dalam koalisi," cetus SB.

Keputusan untuk menjalin komunikasi dengan sejumlah elit, menurut SB, adalah menunjukkan PAN tidak ingin tergiring ajakan parpol lain. Meski, ia mengakui tidak ada satupun pihak yang dapat melaju sendirian dalam Pilpres mendatang. Semua keputusan akan merujuk pada hasil pemilu legislatif. "Saya sudah bicara dengan Pak Yudhoyono, Megawati, Sri Sultan Hamengkubuwono, Wiranto dan Mas Prabowo. PAN sudah melakukan komunikasi politik dengan semua tokoh dan parpol, semuanya sudah dijajaki tinggal menunggu saatnya nanti untuk koalisi," tandasnya.

Partai Golkar yang disebut SB akan ditemui mengungkapkan masih belum menjadwalkan bertemu dengan pimpinan parpol bernomor 9 itu. Beringin belum membicarakan rencana pertemuan dengan PAN secara internal. "Belum ada pembahasan pertemuan dengan PAN itu di DPP Golkar. Itu baru sebatas komunikasi antar individu saja. Karena saat ini semua pengurus DPP pada sibuk keluar daerah untuk berkampanye," ujar Sekjen DPP Golkar Soemarsono.

Walau belum jelas kapan timing pertemuannya, Golkar tetap membuka pintu silaturahmi politik dengan pihak manapun termasuk PAN. Tetapi semuanya akan dilakukan setelah pemilu legislatif berlangsung. "Pada dasarnya kita ingin menjalin komunikasi politik dengan parpol lain. Sekarang ini kan pada kampanye semua jadi jadwalnya semua tertunda. Kita akan bahas itu nanti setelah semuanya selesai," kata Soemarsono.

Kemana arah politik SB? Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Bachtiar Effendi berpendapat apa yang dilakukan SB hanya kian menunjukkan PAN sebagai partai pragmatis. PAN mengincar posisi wapres dari para capres yang ditemui. "PAN akan melihat mana yang pada pemilu nanti yang suara paling besar. PAN akan melihat peluang yang paling besar dari tawaran-tawaran yang nantinya diberikan oleh para capres itu," duga Bachtiar.

Sejauh ini, apa yang ditempuh SB masih dalam tahap wajar. Adalah biasa jika parpol menengah kemudian merapat kepada parpol besar. "Kalau kemarin itu yang besar melakukan komunikasi politik, kini giliran partai tengah yang juga merasa perlu melakukan komunikasi politik," ketusnya. Mana yang akan dipilih PAN, sejauh ini masih belum jelas. Terlebih PAN juga memang selama ini kurang memiliki kedekatan dengan parpol lain. Saat berkoalisi dengan SBY, PAN memosisikan diri sebagai mitra kritis. Tetapi apakah dengan memainkan politik gurita - menjangkau semua pihak -, langkah SB untuk menyorongkan calon menjadi mudah? Tentu tidak juga.

"Capres-capres itu masih akan didominasi oleh SBY, JK, Mega dan Prabowo. Di luar itu akan sulit, bahkan PAN dan PKS pun saya tidak yakin dapat mengusung calon sendiri," jelas Bachtiar.[Anton Aliabbas & Raden Trimutia Hatta]

Selengkapnya......

INGET COY.... 8 HARI LAGI PESTA DEMOKRASI DIMULAI...

INGET COT.... JANGAN SAMPE SALAH COBLOS YE...

Pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2009, tanggal 27 Maret 2009 menetapkan hari pemungutan suara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada 9 April 2009 sebagai hari libur nasional.

Keputusan tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang menyebutkan bahwa pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan. Bagi warga masyarakat, kalangan dunia usaha serta pemilih dengan keluarnya Keppres Nomor 7/2009 maka keraguan terhadap tanggal 9 April 2009 sebagai hari libur nasional terjawab sudah.

Karena diliburkan itulah saya mengajak teman-teman warga Indonesia di manapun berada untuk berfikir jernih dan menggunakan hati nurani untuk memilih "calon jagoan" yang akan dijagokan untuk memperjuangkan aspirasinya...

Selamat Menjalankan Kewajiban dan Mintalah Hak anda sebagai warga negara Indonesia...

Selengkapnya......

Politik Petani

Pemberontakan Petani Ciomas 20 Mei 1886

Masuknya kekuasaan kolonial barat membawa dampak perubahan dalam sistem kehidupan, ekonomi dan politik di Indonesia. Munculnya tanah-tanah partikulir sebagai akibat dari penjualan tanah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sampai dengan tahun 1915 sekitar 1,2 juta hektar tanah perkebunan/persawahan telah dijual oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada pihak swasta. Tanah-tanah itu berstatus Tanah Partikulir yang pemiliknya bangsa Belanda, Eropa dan Cina.

Sedangkan para petani adalah buruh tani, mereka mendapatkan upah 12,5 cent per-hari kerja di sawah atau di kebun. Setiap 5 pikul produksi yang dihasilkan oleh seorang petani, petani tersebut memperoleh 1 pikul, bagi hasil ini dinamakan cuke, darimana berasal kata cukai. Penghasilan per-tahun petani ini masih lagi dikenakan pajeg, darimana berasal kata pajak. Disamping itu para petani setiap bulannya selama 5 hari dinyatakan bekerja kompenian, artinya bekerja tanpa upah.

Untuk pengaturan cuke, kompenian dan pemungutan pajeg, Tuan Tanah mempekerjakan Demang dan Pencalang yang dipersenjatai tombak. Demang dan para Pencalang sebagai pembantunya bertingkah laku kejam terhadap para petani. Ini derita para petani yang bekerja di Tanah Partikulir, termasuk petani Ciomas di kaki Gunung Salak, Bogor, di tanah partikulir milik Tuan de Sturler. Kekejaman kakitangan Tuan Tanah seringkali dilindungi oleh birokrasi Pemerintah Hindia Belanda, terutama Camat. Camat berkolaborasi dengan Demang dan Pencalang, memeras para petani dan menyiksa mereka bilamana perlu.

Menjelang pecahnya pemberontakan petani Ciomas pada tahun 1866, banyak orang yang meninggalkan Ciomas untuk menghindari beban pemungutan pajeg yang berat, dan menghindari kerja kompenian di perkebunan. Ketidakpuasan dan kebencian mereka terhadap Tuan Tanah dan kakitangannya yang menjadi pemicu pemberontakan tersebut. Daerah Ciomas yang dingin itu tiba-tiba pada bulan Februari 1886 situasinya memanas. Camat Ciomas Haji Abdurrahim terbunuh. Apan, tersangka pembunuh dan juga sejumlah petani lainnya yang terlibat, melarikan diri ke Pasir Paok. Mereka menolak menyerahkan diri.

Sebulan sebelum terbunuhnya Camat Haji Abdurrahim, Idris, seorang tokoh petani kelahiran Ciomas dikabarkan menghilang. Ia bergerak di sekitar Gunung Salak dan berpindah-pindah tempat. Bahkan diketahui Idris pernah berada di Sukabumi dan Ciampea. Tidak ada catatan yang cukup tentang bagaimana cara Idris mengorganisir perlawanan petani Ciomas terhadap Tuan Tanah. Juga tidak terdapat laporan bahwa Idris berguru pada ahli spiritual atau menjalankan tarekat. Gerakan Idris tersebut sangat rahasia sehingga tidak tercium oleh mata-mata Belanda.

Pemberontakan petani Ciomas 1886 hampir berdekatan waktunya dengan pemberontakan petani di Cilegon pada tahun 1888. Secara teori sangat mungkin pemberontakan petani Ciomas 1886 dan pemberontakan petani Cilegon 1888 didalangi oleh otak yang sama. Seperti halnya pemberontakan Condet 1916 dan pemberontakan Tangerang 1924, walaupun terpaut 8 tahun, akan tetapi aktor intelektualnya sama yaitu seorang yang bernama Sairin, yang berasal dari Cawang, Jakarta Timur. Sairin, dikenal menguasai sejarah Jakarta, sebagaimana Rama Ratu Jaya, tokoh pemberontakan Tambun 1869.

Pemberontakan-pemberontakan petani, termasuk di Ciomas pada tahun 1886, ternyata bukan hanya disulut oleh penderitaan akibat penindasan oleh kakitangan Tuan Tanah dan Pemerintah Hindia Belanda belaka, akan tetapi terdapat idealisme dibalik pemberontakan-pemberontakan tersebut. Idris mencari peluang yang bagus untuk menyerang kakitangan Tuan Tanah. Peluang tersebut diperolehnya. Idris mendapat informasi bahwa pada malam Jumat tanggal 20 Mei 1886, pegawai dan kakitangan Tuan Tanah Partikulir Ciomas akan melakukan upacara sedekah bumi bertempat di rumah peristirahatan Tuan Tanah di Gadog.

Upacara ini untuk berterima kasih kepada Yang Kuasa karena panenan yang berhasil bagus. Biasanya dalam upacara sedekah bumi, dilakukan makan besar. Seluruh pengunjung dijamu dengan makanan yang enak-enak, dan tidak ketinggalan hiburan. Biasanya dalam acara tersebut, tuan rumah menyediakan minuman keras. Pada malam Kamis 19 Mei 19886, Idris dan pengikutnya merebut dan menduduki kawasan selatan Ciomas. Idris tidak melebarkan kawasan yang didudukinya, tempat tersebut sekedar dipakai sebagai batu loncatan untuk meyerbu rumah peristirahatan Tuan Tanah di Gadog.

Benarlah, pada malam Jumat 20 Mei 1886, Idris dan para pengikutnya menyerbu pesta pora yang sedang berlangsung di rumah peristirahatan Tuan Tanah di Gadog. Tidak kurang dari 41 orang kakitangan Tuan Tanah terbunuh dan 70 orang lagi mengalami luka-luka. Arena pesta dibanjiri darah dan diliputi oleh kepanikan, semuanya bubar dan lari menyelamatkan diri masing-masing. Para pengikut Idris berteriak-teriak sambil memburu sasarannya, akan tetapi sasaran utama yang dicari tidak ketemu, Tuan Tanah De Sturler dan keluarganya berhasil meloloskan diri.

Seperti halnya Apan, Idris-pun menghilang dari Ciomas. Sangat mungkin Idris dan Apan bergabung dengan Haji Wasit di Cilegon yang tengah mempersiapkan pemberontakan petani Cilegon pada tahun 1888.

Sumber:
- Majalah Tani Merdeka, September-Oktober 2008.
- Sartono Kartodirjo, Protest Movement In Rural Java, 1973.

Selengkapnya......

Sang Jendral yang Anak Seorang Petani

Prabowonomics adalah konsep besar pembangunan ekonomi kerakyatan yang dicanangkan oleh Prabowo Subianto, seorang kandidat Presiden pada Pemilu 2009 dari Partai Gerindra. Ketika semua Calon Presiden sedang sibuk saling tebar pesona, saling menjatuhkan dan saling memuji diri sendiri, Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra-nya membuat terobosan dengan menyodorkan konsep pembangunan ekonomi kerakyatan.

Diantara semua calon Presiden dan Partai, Prabowo Subianto dan Partai Gerindra yang paling fokus tentang siapa dan apa yang akan diperjuangkan, seperti yang dikatakannya di Majalah Tani Merdeka bahwa Partai Gerindra didirikan bukan cuma mau merebut kedudukan semata, tapi ada ideologi yang ingin diperjuangkan - terutama masalah ekonomi, karena itu Partai Gerindra menggunakan kata “Gerakan”, Gerindra itu merupakan sebuah gerakan rakyat untuk memperbaiki kehidupan.
Ketika calon-calon presiden lainya sedang sibuk memikirkan tentang koalisi partai dan cara-cara untuk berbagi-bagi kekuasaan, Prabowo Subianto selalu datang untuk menyapa dengan membawa pesan dan salam dari para petani, nelayan dan pedagang pasar untuk disampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Prabowo Subianto dan Partai Gerindra sejak awal sudah memfokuskan diri untuk memperjuangkan para petani, nelayan dan pedagang pasar yang merupakan penopang kehidupan mayoritas rakyat Indonesia. Seperti yang tercantum dalam Manifesto Perjuangan Gerindra pada Pokok-pokok Perjuangan Partai Gerindra di Bidang Pertanian, Perikanan Dan Kelautan, dinyatakan: “Partai Gerindra memperjuangkan perlindungan petani dan nelayan beserta komoditinya. Perlindungan dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pentingnya keberadaan petani dan nelayan. Bagi Partai Gerindra, profesi petani dan nelayan adalah profesi mulia yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan kedaulatan pangan nasional.” Hal ini sesuai dan terbukti pada saat Indonesia dilanda krisis moneter yang parah pada tahun 1997 yang lalu. Pada saat itu sektor keuangan dan industri terpukul parah dan ambruk, tetapi sektor pertanian dan informal masih dapat bertahan dan bahkan jadi bemper ekonomi. Para petani, nelayan dan sektor informal yang sudah terbiasa berjuang sendiri, mampu berjuang mandiri dan bisa menghindarkan bangsa ini dari keterpurukan dan bencana yang lebih besar, bayangkan seandainya terjadi krisis moneter ditambah dengan krisis pangan. Petani, nelayan dan sektor informal merupakan pilar ekonomi terkuat negeri ini dan memiliki daya tahan yang tinggi.

Akan tetapi ketika perekonomian negeri ini mulai berangsur-angsur pulih dan membaik, para petani, nelayan dan sektor informal tetap terlupakan. Penguasa negeri ini rela mengucurkan dana trilyunan rupiah untuk membantu sektor industri dan keuangan untuk bisa pulih kembali, bahkan rela menggelontorkan dana trilyunan rupiah untuk menutup hutang-hutang para konglomerat. Bagaimana dengan para petani, nelayan dan sektor informal yang telah berjasa? Mereka tetap saja berkutat dalam masalah yang sama, ……mereka tetap terlupakan. Para petani tetap berhadapan dengan kemiskinan, harga pupuk yang terus naik dan sering menghilang dari pasaran, sistim irigasi yang rusak dan buruk, harga jual komoditi yang naik turun, beras impor, gula impor, industri-industri pengolah komoditi pertanian yang sudah tua dan tidak efisien. Petani tidak dapat menentukan harga komoditinya, yang menentukan harga komoditi pertanian adalah pedagang, dan para pedagang menentukan harga komoditi pertanian dengan berlindung dibalik harga pasar.

Tetapi anehnya, pada saat panen dimana petani masih menguasai komoditi pertaniannya, harganya rendah, tetapi ketika komoditi pertanian sudah di tangan pedagang, maka harga akan bergerak naik. Demikian juga pada saat harga-harga komoditi pertanian naik karena terjadinya kenaikan biaya produksi yang diakibatkan oleh naiknya harga-harga faktor produksi, misalnya kenaikan harga pupuk yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM, maka pemerintah dengan sigap berusaha untuk menstabilkan (menurunkan?) harga kembali dengan jalan melakukan impor komoditi pertanian tersebut. Salahkah petani bila menaikkan harga komoditinya karena disebabkan oleh kenaikan biaya produksi? Apakah petani yang harus memberi subsidi kepada rakyat? Seperti yang dikatakan oleh Prabowo Subianto bahwa Indonesia adalah negeri yang penuh paradoks Demikian juga dengan nelayan dan sektor informal, yang juga menghadapi permasalahan yang sama meskipun rezim dan penguasa telah berganti-ganti.

Karena itu konsep besar pembangunan ekonomi kerakyatan yang dilontarkan oleh Prabowo Subianto dan Partai Gerindra melalui 8 Program Aksi Untuk Kemakmuran Rakyat, merupakan angin segar bagi para petani, nelayan dan sektor informal.
Memang banyak yang mempertanyakan dan bahkan meragukan konsep besar pembangunan ekonomi kerakyatan tersebut, terutama yang mengaku sebagai pakar ekonomi. Krisis ekonomi yang tidak kunjung usai di Indonesia pada prinsipnya disebabkan oleh adanya krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, pemerintah sering memaksakan kehendaknya kepada rakyat, pemerintah sering memainkan rakyat melalui kebijaksanaan-kebijaksanaannya, pemerintah lebih mementingkan investor-investor asing dibandingkan kepentingan rakyatnya, pemerintah lebih mementingkan dan melindungi golongan ekonomi kuat dibandingkan kepentingan rakyat jelata. Karena itu banyak program-program pemerintah yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena tidak mendapat respon dari rakyat.

Akan tetapi jika Prabowo Subianto dapat meyakinkan rakyat melalui cetak-biru yang detail, jelas dan mudah dipahami oleh rakyat mengenai kebijaksanaan ekonomi kerakyatannya, yang nantinya akan bisa mendapatkan kepercayaan rakyat sehingga antara pemerintah dan rakyat bisa sejalan keinginan, kemauan dan semangatnya, maka sesulit apapun hambatan, tantangan dan rintangannya insya-allah akan bisa diatasi bersama. Dan akhirnya akan bisa membawa bangsa dan negara Indonesia menuju ke arah kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Amin. Semoga Indonesia sebagai macan asia bisa mengaum kembali.

Salam dari Orang desa di Purwokerto....

Selengkapnya......

MEMPELAJARI PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA MELALUI PENDEKATAN KEBUDAYAAN POLITIK

Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.


Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.


Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.


Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.


Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.


Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.


Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.


Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.


Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.

Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:

  1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
  2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya

Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya. Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.

Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.

Selengkapnya......
 
Cebong`s Notez
---- Bincang-bincang Politik Indonesia. Green World Blogger Template---- © Template Design by Syam